• Telp : 0725-47297, 41507
  • Fax : 0725-47296
  • Email : iainmetro@metrouniv.ac.id
Diposting oleh Tgl 07-12-2021 & wkt 02:12:27 dibaca Sebanyak 146 Kali

 

 

metrouniv.ac.id - Dr. Hj. Siti Nurjanah, M.Ag., PIA. (Rektor IAIN Metro)

Dampak dari kelamnya wabah covid 19 masih berkelanjutan, terlebih di masa-masa pembatasan kegiatan yang mulai akrab kita dengar dengan istilah PPKM. Namun, kesulitan yang saat ini menimpa Indonesia dalam menjaga ketentraman masyarakat tidak hanya dari wabah Covid 19 saja, problem keragaman dalam keberagamaan pun sedikit banyak turut terdampak dari covid 19. Covid 19 menjadi bencana global yang tidak memilih targetnya berdasarkan pertimbangan agama, suku dan budaya serta aliran. Setiap person berpotensi terjangkit apabila kualitasi tubuh tidak kuat, tidak menerapkan pola hidup sehat atau tidak menjaga jarak (phsysical distancing). Oleh karena itu, virus tersebut ciptaan Allah yang kemungkinan dapat menyasar seluruh hamba-hamba-Nya, baik yang menjalankan kesalehan spritual maupun tidak. Kesalehan spritual tidak menjadi suatu jaminan akan terhindar dari covid 19 tersebut.

Menurut (Hani dan Ashif, 2020), dalam penjalanan peribadatan di setiap agama pasti ada perbedaan yang ada. Dalam agama Islam pun begitu. Adanya empat madzhab tersebut merupakan representasi perbedaan dalam Islam yang mana antara satu dan yang lainnya. Terdapat perbedaan dalam prektek pengamalan syariat di dalam al-Qur’an dan Sunnah. Hal tersebut karena perbedaan ijtihad para madzhab yang tidak sama. Sehingga hasil berijtihad tadi berupa hukum Islam yang berbeda antara satu madzhab dengan madzhab yang lain.

(Darlis, 2017) juga memaparkan terkait perbedaan pandangan dalam suatu agama, bahwa, kontekstasi keberagamaan di Nusantara yang kerapkali terjadi gesekan antara kelompok dengan kelompok yang lain yang mana di antaranya disebabkan oleh perbedaan paham keagamaan dan paradigma berpikir. Fakta dari problematika keberagamaan di masa pandemi covid 19 yang cukup tajam, terlebih bagi keberagamaan umat Islam yakni penerapan sosial distancing (jaga jarak) yang memaksa pemerintah untuk memberikan anjuran untuk sementara waktu mesjid tidak digunakan seperti sedia kala. Fungsi pokok masjid sebagai epicentrum perkumupulan umat Islam untuk menyembah Tuhan-Nya seolah memudar. Fakta itu menimbulkan polemik di tengah masyarakat termasuk dalam sebagian umat Islam itu sendiri. Sebagian memahami bahwa penutupan tempat ibadah karena virus covid 19 tersebut sesuatu yang seharusnya dan sewajarnya, tetapi sebagian yang lain mengesampingkan dampak dari virus covid 19 dengan menyayangkan penutupan tempat ibadah tersebut.

Oleh karena itu, berdasarkan fakta-fakta tersebut, perlu dipahami lebih jauh lagi bahwa dalam situasi pandemi seperti ini di luar nalar dan jangkauan umat itu sendiri. Moderasi beragama menjadi sesuatu yang mutlak dimaksimalkan dalam menghadapi dampak situasi yang tidak normal tersebut. Masyarakat harus mampu bersikap moderat dalam menjalani kehidupan keberagamannya, bukan dengan memberikan propaganda di berbagai aspek, misalnya memberikan status tertentu di media sosial miliknya. Moderat menjadi sebuah kata yang seringkali disalahartikan dalam kehidupan sosial beragama di Indonesia. Ada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa orang yang moderat tidak memiliki keteguhan dalam pendirian, tidak serius, bahkan tidak menjalankan ajaran agama dengan sungguh-sungguh. Moderat disalahartikan dengan sebagai kompromi keyakinan secara teologi antara satu agama dan agama yang lain. (Kementerian Agama, 2019: 12-13) Moderat harus dipahami dengan percaya diri terhadap ajaran agama yang mengajarkan prinsip adil dan berimbang yang mengarahkan pada kebenaran pada tujuan subtantif dariagama itu sendiri.

Umat Islam harus lebih moderat dalam menjalankan agama. Keadaan beragama di tengah covid 19 ini tentu berbeda dengan sebelumnya. Misalnya, sudah dua tahun ini bulan Ramadan tidak dijalankan se-semarak seperti sebelum pandemi, salat tarawih yang dikerjakan di masjid-masjid, terpaksa harus di rumah masing-masing namun tanpa mengurangi kesakralan amalan-amalan selama bulan Ramadan, begitupun juga dengan ibadah-ibadah keagamaan lain di luar Ramadan selama pandemi.

Dengan itu, kehadiran moderasi Islam diharapkan menjadi sumbangsih jalan tengah solutif untuk problem yang beragam dalam keberagamaan di masa pandemi ini. Moderasi Islam tidak berarti berada di posisi netral yang sering dialamatkan kepada kata tersebut tidak juga diidentik dengan bias paradigma barat yang cenderung memperjuangkan kebebasan yang keblabasan. akan tetapi moderasi Islam yang dimaksud adalah nilai-nilai universal seperti keadilan, persamaan, kerahmatan, keseimbangan yang dimiliki oleh agama Islam yang berakar dari sejarah dan tradisi Nabi dan Sahabat. Moderasi Islam yang dimaksud kemudian dapat dijumpai dalam tiap disiplin keilmuan Islam.

Wacana Moderasi Beragama

Bebrbicara tentang moderasi Islam, dapat kita lihat bahwa ianya mengalami pergeseran makna dari masa ke masa. Saudi Arabia misalnya, yang melalui salah satu pejabat tingginya yakni Pangeran Mohammed bin Salman (MbS) menawarkan kepada negara-negara barat tentang konsep moderasi terbarunya. Tawaran Mbs tentang moderasi Islam Saudi Arabia tersebut adalah dengan diperbolehkannya wanita untuk mengendarai mobil sendiri, dibukanya bioskop dan lain sebagainya yang jika melihat Indonesia ini sudah merupakan kewajaran sejak lampau.

Dalam sejarah Islam Indonesia misalnya, karakter Islam Moderat --yang kerap disebut Azyumardi Azra sebagai karakter asli dari keberagamaan Muslim di Nusantara-- bisa merujuk pada sejarah awal masuknya Islam ke bumi nusantara. Walisongo merupakan arsitek yang handal dalam pembumian Islam awal di Indonesia dengan cara damai, tidak memaksa pemeluk lain untuk masuk agama Islam, menghargai budaya yang tengah berjalan, dan bahkan mengakomodasikannya ke dalam kebudayaan lokal tanpa kehilangan identitasnya. (Miftahuddin, 2010: 42-43).

Penegasan di atas menjadi penting, karena ada hal yang menarik dari analisis Azyumardi Azra yang membandingkan karakter sosial keagamaan Indonesia dan Timur Tengah terkait moderasi beragama. Dengan latar belakang yang sama akan hadirnya semangat moderasi (wasathiyah) di Indonesia dan Timur Tengah, namun ada perbedaan pada prakteknya.

Di tengah kebingungan menguatnya politik identitas yang terbelah pada sisi ekstrim yang berseberangan. Satu sisi cenderung ke kiri, sedangkan sisi lain cenderung ke kanan. Dua sisi ekstrim ini juga terjadi dalam sikap keberagamaan masyarakat. Bagi umat Islam misalnya, ini menjadi tantangan tersendiri secara internal. Umat Islam terkotak menjadi dua golongan yang memiliki pemahaman keagamaan yang berbeda. Sebagian kalangan umat Islam bersikap ketat dalam memahami agama dan cenderung memaksakan pemahamannya tersebut di tengah masyarakat muslim, bahkan dalam beberapa hal dengan menggunakan kekerasan (ekstrim kanan/fanatik). Sebagian lain bersikap longgar dalam beragama dan tunduk pada perilaku serta pemikiran negatif yang berasal dari budaya dan peradaban lain (ekstrim kiri/sekuler). Dalam ajaran Islam, menurut Achmad Satori Ismail dkk, hal tersebut disebabkan keduanya keliru memahami beberapa aspek ajaran Islam, yang akibatnya melahirkan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan spirit Islam yang rahmatan lil a>lamin (Ismail dkk, 2007: 13-14).

Tentu dapat dipahami bersama bahwa salah satu ancaman terbesar yang dapat memecah belah sebagai sebuah bangsa adalah konflik yang berlatar belakang agama, apalagi sampai menggunakan kekerasan. Wajah agama tergantung pada pemeluknya. Agama memiliki dua kekuatan seperti dua sisi mata uang yang berbeda. Satu sisi agama bisa tampil sebagai kekuatan daya penyatu (sentripetal), yang bisa menenggelamkan ikatan-ikatan primordial seperti ikatan kekerabatan, kesukuan, dan kebangsaan. Namun di sisi lain, ia bisa menjadi kekuatan daya pemecah belah (sentrifugal), yang bisa memporak-porandakan sebuah keharmonisan. Yang lebih dahsyat lagi, daya rusak konflik yang berlatar belakang perbedaan klaim kebenaran tafsir agama, mengingat sensitivitas agama yang menyentuh relung jiwa terdalam manusia. Saling klaim kebenaran seringkali terjadi oleh manusia yang terbatas dalam menafsirkan agama, padahal hakikat kebenaran hanya dimiliki oleh Tuhan Yang Maha Benar.

Tawaran moderasi Islam adalah untuk mengedepankan moderasi beragama, yang menghargai keragaman tafsir, serta tidak terjebak pada sikap ekstrim, intoleran, dan tindak kekerasan. Ini diharapkan dapat menciptakan kerukunan dan kedamaian dalam menjalankan kehidupan keagamaan di Indonesia (Kementerian Agama, 2019:7). Meminjam pendapat Mohammad Hashim Kamali, bahwa prinsip dasar moderasi beragama adalah keseimbangan (balance) dan adil (justice). Dalam kerangka ini, seorang beragama tidak boleh ekstrim pada pandangannya, melainkan harus selalu mencari titik temu. Bagi Kamali, konsep dasar ini (moderasi/wasathiyah) merupakan esensi ajaran Islam yang seringkali dilupakan oleh umatnya (Kementerian Agama, 2019:19-21). Sedangkan menurut Ismail Raji al-Faruqi (w.1986) yang mengurai makna berimbang (tawazun) atau the golden mean sebagai sikap untuk menghindarkan diri dari dua kutub ekstrim yang tidak menguntungkan, sembari terus berupaya mencari titik temu menggabungkannya. Sikap selalu mengambil jalan tengah yang berimbang (Kementerian Agama, 2019: 22-23).

Pandangan tentang moderasi/ wasathiyyah di atas, sejalan dengan pendapat Raghib al- Ashfahani (w. 502 H), yang memaknainya sebagai titik tengah, seimbang tidak terlalu ke kanan (ifrâth) dan tidak terlalu ke kiri (tafrîth), yang di dalamnya terkandung makna keadilan (al-‘adl), kemuliaan, dan persamaan (al-musawah). Ini tercatat dalam bukunya, Mufradât Alfâzh Al-Qur’an (Al-Ashfahani: tth,: 513).

Relevan juga dengan penjelasan buku Strategi al-wasathiyyah yang dikeluarkan oleh Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Islam Kuwait, yang dikutip oleh Muchlis Hanafi bahwa wasathiyyah adalah sebuah metode berpikir, berinteraksi, dan berperilaku yang didasari atas sikap tawâzun (seimbang) dalam menyikapi dua keadaan perilaku yang bisa dibandingkan, sehingga dapat ditemukan sikap yang sesuai dengan konteks dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran agama dan tradisi masyarakat (Hanafi, 2009: 40).

M. Quraish Shihab dalam masterpiece-nya, Tafsir Al-Mishbah, ketika menafsirkan Surah al-Baqarah ayat 143 menyebutkan bahwa umat Islam dijadikan umat pertengahan moderat dan teladan, sehingga dengan demikian keberadaan umat Islam adalah dalam posisi pertengahan. Posisi pertengahan menjadikan manusia tidak memihak ke kiri dan ke kanan dan dapat dilihat oleh siapapun dalam penjuru yang berbeda, hal ini mengantarkan manusia berlaku adil dan dapat menjadi teladan bagi semua pihak (Shihab, 2000, Vol. I: 325).

Moderasi di Masa Pandemi (Keberislaman dalam Keberindonesiaan)

Jauh sebelum pandemi melanda dunia, khususnya Indonesia, istilah moderasi agama sudah banyak disalahpahami oleh masyarakat. Diantara beberapa paradigma yang keliru terkait pemahaman ini adalah dianggap tidak punya pendirian (plin-plan), dicap tidak paripurna (kaffah) dalam beragama, dan dianggap mengabaikan nilai-nilai dasar keagamaan (liberal).

Dalam menjawab kesalahfahaman itu, Lukman Hakim Saifudin menegaskan dengan pernyataan sebagai berikut: “Jawabannya tentu saja tidak! Moderat dalam beragama sama sekali bukan berarti mengompromikan prinsip-prinsip dasar atau ritual pokok agama demi untuk menyenangkan orang lain yang berbeda faham keagamaan atau berbeda agamanya. Moderasi beragama juga bukan alasan bagi seseorang untuk tidak menjalankan ajaran agamanya secara serius. Sebaliknya, moderat dalam beragama berarti percaya diri dengan esensi ajaran agama yang dipeluknya, yang mengajarkan prinsip adil dan berimbang, tetapi berbagi kebenaran sejauh menyangkut tafsir agama”. (Kementerian Agama, 2019: 13-14).

Adapun indikator dalam moderasi beragama, yaitu: Komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal. Sebagai indikator moderasi beragama yang paling penting, komitmen kebangsaan ingin melihat sejauhmana praktik beragama seseorang selaras dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila dan UUD 1945 juga regulasi di bawahnya (Kementerian Agama, 2019: 43).


 

 

Berita Lainnya

Masukkan Komentar

M4G0m

Total Komentar (0)


Halaman :
Facebook Pages
 
Twitter