metrouniv.ac.id - Dr. Hj. Siti Nurjanah, M.Ag., PIA. (Rektor IAIN Metro)
Dampak dari kelamnya wabah covid 19 masih berkelanjutan,
terlebih di masa-masa pembatasan
kegiatan yang mulai akrab kita dengar dengan istilah PPKM. Namun, kesulitan yang saat ini menimpa Indonesia dalam
menjaga ketentraman masyarakat tidak hanya dari wabah Covid 19 saja, problem keragaman dalam keberagamaan pun
sedikit banyak turut terdampak dari
covid 19. Covid 19 menjadi bencana global yang tidak memilih targetnya berdasarkan pertimbangan agama, suku dan
budaya serta aliran. Setiap person berpotensi
terjangkit apabila kualitasi tubuh tidak kuat, tidak menerapkan pola
hidup sehat atau tidak menjaga jarak
(phsysical distancing). Oleh karena
itu, virus tersebut ciptaan Allah yang kemungkinan dapat menyasar
seluruh hamba-hamba-Nya, baik yang menjalankan kesalehan spritual
maupun tidak. Kesalehan spritual tidak menjadi suatu jaminan akan terhindar
dari covid 19 tersebut.
Menurut (Hani dan Ashif, 2020), dalam penjalanan peribadatan di setiap
agama pasti ada perbedaan yang ada.
Dalam agama Islam pun begitu. Adanya empat madzhab tersebut merupakan representasi perbedaan dalam
Islam yang mana antara satu dan yang lainnya.
Terdapat perbedaan dalam prektek pengamalan syariat di dalam al-Qur’an
dan Sunnah. Hal tersebut karena
perbedaan ijtihad para madzhab yang tidak sama. Sehingga hasil berijtihad tadi berupa hukum Islam yang berbeda antara satu madzhab
dengan madzhab yang lain.
(Darlis, 2017) juga memaparkan terkait perbedaan pandangan dalam suatu
agama, bahwa, kontekstasi keberagamaan di Nusantara yang kerapkali terjadi
gesekan antara kelompok dengan kelompok yang lain yang
mana di antaranya disebabkan oleh perbedaan paham
keagamaan dan paradigma berpikir. Fakta dari problematika keberagamaan di masa pandemi
covid 19 yang cukup tajam, terlebih bagi keberagamaan umat Islam yakni penerapan
sosial distancing (jaga jarak) yang
memaksa pemerintah untuk memberikan anjuran
untuk sementara waktu mesjid tidak digunakan seperti sedia kala. Fungsi pokok masjid
sebagai epicentrum perkumupulan umat Islam untuk
menyembah Tuhan-Nya seolah
memudar. Fakta itu menimbulkan polemik di tengah masyarakat termasuk
dalam sebagian umat Islam itu
sendiri. Sebagian memahami bahwa penutupan tempat ibadah karena virus covid 19 tersebut
sesuatu yang seharusnya dan sewajarnya, tetapi sebagian yang lain mengesampingkan dampak dari virus covid
19 dengan menyayangkan penutupan tempat ibadah
tersebut.
Oleh karena itu, berdasarkan fakta-fakta tersebut,
perlu dipahami lebih jauh lagi bahwa dalam situasi pandemi seperti ini di
luar nalar dan jangkauan umat itu sendiri. Moderasi beragama menjadi sesuatu yang mutlak dimaksimalkan dalam
menghadapi dampak situasi yang tidak
normal tersebut. Masyarakat harus mampu bersikap moderat dalam menjalani kehidupan keberagamannya, bukan dengan
memberikan propaganda di berbagai aspek, misalnya memberikan status tertentu di media sosial
miliknya. Moderat menjadi
sebuah kata yang seringkali disalahartikan dalam kehidupan sosial
beragama di Indonesia. Ada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa orang
yang moderat tidak memiliki keteguhan dalam pendirian,
tidak serius, bahkan tidak menjalankan ajaran agama dengan sungguh-sungguh. Moderat disalahartikan dengan sebagai
kompromi keyakinan secara teologi antara satu
agama dan agama yang lain. (Kementerian Agama, 2019: 12-13) Moderat
harus dipahami dengan percaya diri
terhadap ajaran agama yang mengajarkan prinsip adil dan berimbang yang mengarahkan pada kebenaran pada tujuan subtantif dariagama itu sendiri.
Umat Islam harus lebih moderat dalam menjalankan agama. Keadaan
beragama di tengah covid 19 ini tentu
berbeda dengan sebelumnya. Misalnya, sudah dua tahun ini bulan Ramadan
tidak dijalankan se-semarak seperti sebelum pandemi,
salat tarawih yang dikerjakan di masjid-masjid, terpaksa
harus di rumah masing-masing namun tanpa mengurangi kesakralan amalan-amalan selama
bulan Ramadan, begitupun juga dengan ibadah-ibadah keagamaan lain di luar Ramadan selama pandemi.
Dengan
itu, kehadiran moderasi Islam diharapkan menjadi sumbangsih jalan tengah solutif untuk problem yang beragam dalam
keberagamaan di masa pandemi ini. Moderasi Islam tidak
berarti berada di posisi netral
yang sering dialamatkan kepada kata tersebut
tidak juga diidentik dengan
bias paradigma barat yang cenderung memperjuangkan kebebasan yang keblabasan. akan tetapi moderasi
Islam yang dimaksud adalah nilai-nilai universal seperti keadilan, persamaan, kerahmatan, keseimbangan yang
dimiliki oleh agama Islam yang
berakar dari sejarah dan tradisi Nabi dan Sahabat. Moderasi Islam yang dimaksud kemudian dapat dijumpai dalam tiap
disiplin keilmuan Islam.
Bebrbicara tentang moderasi
Islam, dapat kita lihat bahwa ianya mengalami
pergeseran makna dari masa ke masa. Saudi Arabia misalnya, yang melalui
salah satu pejabat tingginya yakni
Pangeran Mohammed bin Salman (MbS) menawarkan kepada negara-negara barat tentang konsep moderasi terbarunya. Tawaran
Mbs tentang moderasi Islam Saudi
Arabia tersebut adalah dengan diperbolehkannya wanita untuk mengendarai mobil sendiri, dibukanya
bioskop dan lain sebagainya yang jika melihat
Indonesia ini sudah
merupakan kewajaran sejak
lampau.
Dalam sejarah Islam Indonesia misalnya, karakter Islam Moderat
--yang kerap disebut
Azyumardi Azra sebagai
karakter asli dari keberagamaan Muslim di Nusantara-- bisa merujuk pada sejarah awal masuknya Islam
ke bumi nusantara. Walisongo merupakan arsitek
yang handal dalam pembumian Islam awal di Indonesia dengan cara damai, tidak memaksa pemeluk lain untuk masuk agama Islam,
menghargai budaya yang tengah berjalan,
dan bahkan mengakomodasikannya ke dalam kebudayaan lokal tanpa kehilangan identitasnya. (Miftahuddin,
2010: 42-43).
Penegasan di atas menjadi penting,
karena ada hal yang menarik
dari analisis Azyumardi Azra yang membandingkan karakter
sosial keagamaan Indonesia dan Timur Tengah terkait
moderasi beragama. Dengan latar belakang
yang sama akan hadirnya semangat moderasi (wasathiyah) di Indonesia dan Timur Tengah, namun ada perbedaan pada prakteknya.
Di tengah kebingungan menguatnya politik identitas yang terbelah pada
sisi ekstrim yang berseberangan. Satu
sisi cenderung ke kiri, sedangkan sisi lain cenderung ke kanan. Dua sisi ekstrim ini juga terjadi dalam
sikap keberagamaan masyarakat. Bagi umat Islam
misalnya, ini menjadi
tantangan tersendiri secara
internal. Umat Islam terkotak menjadi
dua golongan yang memiliki
pemahaman keagamaan yang berbeda. Sebagian kalangan umat Islam bersikap ketat dalam memahami agama dan cenderung
memaksakan pemahamannya tersebut di
tengah masyarakat muslim, bahkan dalam beberapa hal dengan menggunakan kekerasan (ekstrim kanan/fanatik).
Sebagian lain bersikap longgar dalam beragama dan tunduk pada perilaku serta pemikiran negatif yang berasal dari
budaya dan peradaban lain (ekstrim
kiri/sekuler). Dalam ajaran Islam, menurut Achmad Satori Ismail dkk, hal tersebut disebabkan keduanya keliru memahami beberapa aspek ajaran Islam, yang akibatnya melahirkan tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan spirit Islam yang rahmatan lil ’a>lamin (Ismail
dkk, 2007: 13-14).
Tentu dapat dipahami
bersama bahwa salah satu ancaman
terbesar yang dapat memecah
belah sebagai sebuah bangsa
adalah konflik yang berlatar belakang
agama, apalagi sampai
menggunakan kekerasan. Wajah agama tergantung pada pemeluknya. Agama memiliki dua kekuatan seperti
dua sisi mata uang yang berbeda. Satu sisi agama bisa tampil
sebagai kekuatan daya penyatu (sentripetal), yang bisa menenggelamkan ikatan-ikatan primordial seperti
ikatan kekerabatan, kesukuan, dan kebangsaan. Namun
di sisi lain, ia bisa menjadi kekuatan
daya pemecah belah (sentrifugal), yang bisa memporak-porandakan sebuah keharmonisan. Yang lebih dahsyat lagi, daya rusak
konflik yang berlatar belakang perbedaan
klaim kebenaran tafsir agama, mengingat sensitivitas agama yang menyentuh relung jiwa terdalam manusia. Saling klaim
kebenaran seringkali terjadi oleh manusia yang
terbatas dalam menafsirkan agama, padahal hakikat kebenaran hanya
dimiliki oleh Tuhan Yang Maha Benar.
Tawaran moderasi Islam adalah untuk mengedepankan moderasi beragama,
yang menghargai keragaman tafsir,
serta tidak terjebak pada sikap ekstrim, intoleran, dan tindak kekerasan. Ini diharapkan dapat menciptakan kerukunan dan kedamaian dalam menjalankan kehidupan keagamaan di Indonesia
(Kementerian Agama, 2019:7). Meminjam pendapat
Mohammad Hashim Kamali,
bahwa prinsip dasar moderasi beragama
adalah keseimbangan (balance) dan adil (justice). Dalam
kerangka ini, seorang
beragama tidak boleh ekstrim pada pandangannya,
melainkan harus selalu mencari titik temu. Bagi Kamali, konsep dasar ini (moderasi/wasathiyah) merupakan esensi ajaran Islam yang seringkali dilupakan oleh umatnya (Kementerian Agama, 2019:19-21).
Sedangkan menurut Ismail Raji al-Faruqi (w.1986)
yang mengurai makna berimbang (tawazun)
atau the golden mean sebagai sikap untuk menghindarkan diri dari dua kutub
ekstrim yang tidak menguntungkan, sembari terus berupaya mencari titik temu menggabungkannya. Sikap selalu mengambil jalan tengah yang berimbang (Kementerian Agama, 2019: 22-23).
Pandangan tentang moderasi/
wasathiyyah di atas, sejalan
dengan pendapat Raghib
al- Ashfahani (w. 502 H),
yang memaknainya sebagai titik tengah, seimbang tidak terlalu ke kanan (ifrâth) dan tidak terlalu
ke kiri (tafrîth), yang di dalamnya
terkandung makna keadilan
(al-‘adl), kemuliaan, dan
persamaan (al-musawah). Ini tercatat
dalam bukunya, Mufradât Alfâzh
Al-Qur’an (Al-Ashfahani: tth,: 513).
Relevan juga dengan penjelasan buku Strategi al-wasathiyyah yang dikeluarkan oleh Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Islam Kuwait, yang dikutip oleh
Muchlis Hanafi bahwa wasathiyyah
adalah sebuah metode berpikir, berinteraksi, dan berperilaku yang didasari atas sikap tawâzun (seimbang)
dalam menyikapi dua keadaan perilaku yang bisa
dibandingkan, sehingga dapat ditemukan sikap yang sesuai dengan konteks
dan tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip ajaran agama dan tradisi
masyarakat (Hanafi, 2009: 40).
M. Quraish Shihab dalam masterpiece-nya, Tafsir Al-Mishbah, ketika
menafsirkan Surah al-Baqarah ayat 143
menyebutkan bahwa umat Islam dijadikan umat pertengahan moderat dan teladan,
sehingga dengan demikian
keberadaan umat Islam
adalah dalam posisi
pertengahan. Posisi pertengahan menjadikan manusia tidak memihak ke kiri
dan ke kanan dan dapat dilihat oleh
siapapun dalam penjuru yang berbeda, hal ini mengantarkan manusia berlaku
adil dan dapat menjadi
teladan bagi semua pihak
(Shihab, 2000, Vol. I: 325).
Jauh sebelum pandemi melanda dunia, khususnya Indonesia, istilah
moderasi agama sudah banyak
disalahpahami oleh masyarakat. Diantara beberapa paradigma yang keliru terkait
pemahaman ini adalah dianggap
tidak punya pendirian (plin-plan), dicap tidak paripurna (kaffah) dalam beragama, dan dianggap mengabaikan nilai-nilai dasar keagamaan (liberal).
Dalam menjawab kesalahfahaman itu, Lukman Hakim Saifudin menegaskan
dengan pernyataan sebagai berikut:
“Jawabannya tentu saja tidak! Moderat dalam beragama sama sekali bukan berarti mengompromikan
prinsip-prinsip dasar atau ritual pokok agama demi untuk menyenangkan orang lain yang berbeda faham keagamaan atau
berbeda agamanya. Moderasi beragama
juga bukan alasan bagi seseorang untuk tidak menjalankan ajaran agamanya secara serius. Sebaliknya,
moderat dalam beragama berarti percaya diri dengan esensi ajaran agama yang dipeluknya, yang mengajarkan prinsip
adil dan berimbang, tetapi berbagi kebenaran sejauh menyangkut
tafsir agama”. (Kementerian Agama, 2019: 13-14).
Adapun indikator dalam moderasi beragama, yaitu: Komitmen kebangsaan,
toleransi, anti kekerasan, dan
akomodatif terhadap kebudayaan lokal. Sebagai indikator moderasi beragama yang paling penting, komitmen
kebangsaan ingin melihat sejauhmana praktik beragama
seseorang selaras dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila dan UUD 1945 juga regulasi
di bawahnya (Kementerian Agama, 2019: 43).
Wacana Moderasi Beragama
Moderasi di Masa Pandemi
(Keberislaman dalam Keberindonesiaan)
Online | : | 1 User |
Hits | : | 4067812 |
Hari Ini | : | 44 |
Bulan Ini | : | 1488 |
Tahun Ini | : | 5284 |
Total | : | 1861922 |
Halaman :