• Telp : 0725-47297, 41507
  • Fax : 0725-47296
  • Email : iainmetro@metrouniv.ac.id
Diposting oleh Tgl 29-11-2021 & wkt 02:30:19 dibaca Sebanyak 248 Kali

 

metrouniv.ac.id - Dr. Mukhtar Hadi, M.Si. (Direktur PascasarjanaIAIN Metro)

Dalam salah satu film India, ada sebuah dialog seorang suami dengan istrinya. Dalam dialog itu sang suami menyampaikan rasa sayangnya kepada istrinya dengan menghadiahkan sebuah ruang dapur yang bersih dan mewah seraya mengatakan “ Aku persembahkan tempat ini sebagai surga bagimu istriku, bukankah surga bagi seorang istri berada dalam dapurnya”?. Dengan rasa senang penuh kemanjaan sang istri memuji suaminya dan menyampaikan terimakasih yang tak terhingga atas hadiah yang telah ia berikan. Sang istri menyambut hadiah suaminya itu dengan suka cita.

Banyak perempuan merasa tidak menjadi perempuan yang sempurna dan sesungguhnya kalau ia belum bisa memasak yang lezat dan nikmat bagi suami dan anak-anaknya. Atau ia merasa belum merasa menjadi perempuan kalau  tidak bisa menyapu, mencuci baju atau menyeterika dengan baik. Bahkan ini dipesankan secara turun temurun sebagai wasiat seorang ibu kepada anak perempuannya sejak kecil hingga menjelang acara perkawinannya. Inti dari wasiat itu adalah bahwa seorang perempuan itu bagaimanapun hebatnya ia, maka harus tetap bisa memberesi urusan domestik rumah tangganya yaitu memasak, mencuci, menyeterika baju, cuci piring, menyapu dan pekerjaan domestik lainnya. Wasiat itu tertanam dengan baik dalam pikiran dan hati si anak perempuan, hingga ia merasa bahwa itu adalah bagian kodrat dirinya dan ia merasa bukan perempuan yang sempurna jika tidak bisa melakukan itu semua. Karena itu setelah  menikah, maka ia akan melakukan semua tugas domestik itu dengan penuh kegembiraan dan kebahagiaan.

Para aktivis perempuan (feminis) mengkritik hal tersebut sebagai subordinasi terhadap perempuan dalam masyarakat yang memiliki budaya patriarkhi. Perempuan telah menjadi korban subordinasi yang dilanggengkan dalam sebuah sistem budaya yang menempatkan laki-laki sebagai paling berkuasa dan menentukan. Budaya patriarkhi itu begitu kuatnya berurat berakar sehingga para perempuan sampai tidak menyadari bahwa itu melemahkan dan menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak menguntungkan. Maka subordinasi terhadap perempuan ini harus dibongkar dan usaha menyadarkan perempuan dari posisi yang tidak menguntungkan ini harus dilakukan. Perempuan harus sadar dan bisa membedakan mana yang kodrat dan mana yang merupakan konstruksi budaya. Para aktivis feminis itu kemudian menunjukkan bahwa kodrat perempuan itu hanya terdiri dari empat hal yaitu menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui; sementara memasak, mencuci, menyapu, menyeterika adalah konstruksi budaya dalam masyarakat yang menempatkan laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Begitu kira-kira argumentasi para feminis.

Tulisan ini sebenarnya tidak akan membahas tentang persoalan gerakan feminisme dan tidak akan membuat kesimpulan mana yang salah dan mana yang benar. Biarlah itu menjadi diskursus dalam wacana gerakan perempuan dan aktivis perempuan. Deskripsi di atas hanya sebuah ilustrasi untuk memudahkan pemahaman tentang konsep hegemoni. Sebuah istilah yang sangat akrab di telinga kita dan umumnya dipahami secara sederhana sebagai gambaran tentang penguasaan satu kelompok atas kelompok masyarakat lainnya, atau penguasaan pemerintah terhadap rakyatnya, atau penguasaan pemimpin terhadap orang-orang yang dipimpinnya.

Hegemoni lebih dari sekedar penguasaan satu kelompok kepada kelompok lainnya. Hegemoni dipahami sebagai cara bagaimana suatu kelompok sosial memperoleh pengaruh (kekuasaan) melalui cara-cara yang lebih persuasif, dengan menggiring kelompok sosial lain (yang dikuasai) untuk memberikan persetujuannya (konsensus) kepada kelompok sosial yang menguasai.

Kata hegemoni sendiri berasal dari Bahasa Yunani, hegemonia, yang merujuk pada  dominasi (kepemimpinan) suatu negara kota terhadap negara kota lain dan berkembang menjadi dominasi ekstrim negara terhadap negara lain. Konsep hegemoni ini dipopulerkan oleh seorang sosiolog dan politikus kelahiran Italia bernama Antonio Gramsci (1891-1937). Ia adalah penganut Karl Marx dan karena itu ia adalah seorang Marxian. Gramsci mengembangkan makna awal hegemoni untuk merujuk pada dominasi suatu kelas sosial terhadap kelas sosial lain dalam masyarakat melalui hegemoni budaya. Hegemoni juga merupakan suatu bentuk kekaisaran yang mengendalikan negara-negara bawahannya tidak dengan kekuasaan fisik langsung tetapi dengan penguasaan persepsi dan intelektual.

Jelas, bahwa makna hegemoni tidak hanya penguasaan satu kelompok terhadap kelompok lain yang bersifat fisik, badan atau wilayah, tetapi lebih kepada penguasaan yang bersifat intelektual dan budaya sehingga terjadi konsensus antara yang menguasai dan dikuasai. Dalam hegemoni yang dikuasai terkadang merasa nyaman dan menerima segala penguasaan itu secara sadar, meskipun sesungguhnya penerimaan itu membuat ia berada dalam posisi yang tidak menguntungkan bahkan sebenarnya dalam posisi tertindas.

Teori hegemoni inilah yang kemudian digunakan sebagai filosofi dasar perubahan kolonialisme, dari kolonialisme fisik dan wilayah kepada kolonialisme baru yaitu kolonialisme teori, ekonomi, budaya, dan politik. Sejak berakhirnya perang dunia kedua penjajahan dalam bentuk fisik dan penguasaan wilayah tidak bisa lagi bisa diterima seiring dengan munculnya kesadaran tentang negara bangsa (nasionalisme) dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia universal. Seiring dengan itu negara-negara yang selama ini dijajah diberikan atau berusaha merebut kemerdekaannya. Namun ternyata negara-negara penjajah tidak dengan rela hati memberikan atau melepaskan wilayah jajahannya untuk merdeka. Mereka para penjajah mengembangkan kolonialisme baru dengan tidak lagi merebut dan menguasai wilayah tetapi dengan penguasaan teori, ekonomi dan budaya.

Dus, kembali kepada ilustrasi di awal tulisan ini, dalam budaya patriarkhi hegemoni laki-laki terhadap perempuan dilakukan dengan cara “mengistimewakan” perempuan dalam wilayah domestik (sumur,dapur, Kasur) sehingga banyak perempuan merasa nyaman dalam posisi ini tanpa harus dipaksa tetapi malah menerima dengan sukacita. Sama halnya dengan hegemoni barat terhadap negara-negara dunia ketiga (kebanyakan negara di Asia dan Afrika ) baik dalam bidang ilmu pengetahuan, ekonomi, budaya dan politik, biasanya diterima dengan tanpa sikap kritis. Malah kadang apapun yang berasal dari barat semua dinilai baik dan diikuti begitu saja sebagai suatu kebenaran. Walaupun sebenarnya tidak semuanya baik atau bermaksud baik. Demikianlah hegemoni bekerja, orang dibuat menerima dan merasa nyaman, walaupun sesungguhnya ia berada dalam posisi yang dirugikan atau tidak beruntung. Kalimat ekstrimnya : “orang dibuat bahagia dalam ketertindasan”.  Wallahu a’lam bishawab. (mh.29/11/21).


 

Berita Lainnya

Masukkan Komentar

jtTAm

Total Komentar (0)


Halaman :
Facebook Pages
 
Twitter