metrouniv.ac.id - Dr.
Mukhtar Hadi, M.Si. (Direktur PascasarjanaIAIN Metro)
Dalam salah
satu film India, ada sebuah dialog seorang suami dengan istrinya. Dalam dialog
itu sang suami menyampaikan rasa sayangnya kepada istrinya dengan menghadiahkan
sebuah ruang dapur yang bersih dan mewah seraya mengatakan “ Aku persembahkan
tempat ini sebagai surga bagimu istriku, bukankah surga bagi seorang istri
berada dalam dapurnya”?. Dengan rasa senang penuh kemanjaan sang istri memuji
suaminya dan menyampaikan terimakasih yang tak terhingga atas hadiah yang telah
ia berikan. Sang istri menyambut hadiah suaminya itu dengan suka cita.
Banyak
perempuan merasa tidak menjadi perempuan yang sempurna dan sesungguhnya kalau
ia belum bisa memasak yang lezat dan nikmat bagi suami dan anak-anaknya. Atau
ia merasa belum merasa menjadi perempuan kalau tidak bisa menyapu, mencuci baju atau menyeterika
dengan baik. Bahkan ini dipesankan secara turun temurun sebagai wasiat seorang
ibu kepada anak perempuannya sejak kecil hingga menjelang acara perkawinannya.
Inti dari wasiat itu adalah bahwa seorang perempuan itu bagaimanapun hebatnya
ia, maka harus tetap bisa memberesi urusan domestik rumah tangganya yaitu
memasak, mencuci, menyeterika baju, cuci piring, menyapu dan pekerjaan domestik
lainnya. Wasiat itu tertanam dengan baik dalam pikiran dan hati si anak
perempuan, hingga ia merasa bahwa itu adalah bagian kodrat dirinya dan ia
merasa bukan perempuan yang sempurna jika tidak bisa melakukan itu semua.
Karena itu setelah menikah, maka ia akan
melakukan semua tugas domestik itu dengan penuh kegembiraan dan kebahagiaan.
Para aktivis
perempuan (feminis) mengkritik hal tersebut sebagai subordinasi terhadap
perempuan dalam masyarakat yang memiliki budaya patriarkhi. Perempuan telah
menjadi korban subordinasi yang dilanggengkan dalam sebuah sistem budaya yang
menempatkan laki-laki sebagai paling berkuasa dan menentukan. Budaya patriarkhi
itu begitu kuatnya berurat berakar sehingga para perempuan sampai tidak
menyadari bahwa itu melemahkan dan menempatkan perempuan dalam posisi yang
tidak menguntungkan. Maka subordinasi terhadap perempuan ini harus dibongkar
dan usaha menyadarkan perempuan dari posisi yang tidak menguntungkan ini harus
dilakukan. Perempuan harus sadar dan bisa membedakan mana yang kodrat dan mana
yang merupakan konstruksi budaya. Para aktivis feminis itu kemudian menunjukkan
bahwa kodrat perempuan itu hanya terdiri dari empat hal yaitu menstruasi,
hamil, melahirkan dan menyusui; sementara memasak, mencuci, menyapu,
menyeterika adalah konstruksi budaya dalam masyarakat yang menempatkan
laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Begitu kira-kira argumentasi para
feminis.
Tulisan ini
sebenarnya tidak akan membahas tentang persoalan gerakan feminisme dan tidak
akan membuat kesimpulan mana yang salah dan mana yang benar. Biarlah itu
menjadi diskursus dalam wacana gerakan perempuan dan aktivis perempuan. Deskripsi
di atas hanya sebuah ilustrasi untuk memudahkan pemahaman tentang konsep
hegemoni. Sebuah istilah yang sangat akrab di telinga kita dan umumnya dipahami
secara sederhana sebagai gambaran tentang penguasaan satu kelompok atas
kelompok masyarakat lainnya, atau penguasaan pemerintah terhadap rakyatnya,
atau penguasaan pemimpin terhadap orang-orang yang dipimpinnya.
Hegemoni
lebih dari sekedar penguasaan satu kelompok kepada kelompok lainnya. Hegemoni
dipahami sebagai cara bagaimana suatu kelompok sosial memperoleh pengaruh
(kekuasaan) melalui cara-cara yang lebih persuasif, dengan menggiring kelompok
sosial lain (yang dikuasai) untuk memberikan persetujuannya (konsensus) kepada
kelompok sosial yang menguasai.
Kata hegemoni sendiri berasal dari Bahasa
Yunani, hegemonia, yang merujuk pada
dominasi (kepemimpinan) suatu negara kota terhadap negara kota lain dan
berkembang menjadi dominasi ekstrim negara terhadap negara lain. Konsep
hegemoni ini dipopulerkan oleh seorang sosiolog dan politikus kelahiran Italia
bernama Antonio Gramsci (1891-1937). Ia adalah penganut Karl Marx dan karena
itu ia adalah seorang Marxian. Gramsci mengembangkan makna awal hegemoni untuk merujuk
pada dominasi suatu kelas sosial terhadap kelas sosial lain dalam masyarakat
melalui hegemoni budaya. Hegemoni juga merupakan suatu bentuk kekaisaran yang
mengendalikan negara-negara bawahannya tidak dengan kekuasaan fisik langsung
tetapi dengan penguasaan persepsi dan intelektual.
Jelas, bahwa makna hegemoni tidak hanya
penguasaan satu kelompok terhadap kelompok lain yang bersifat fisik, badan atau
wilayah, tetapi lebih kepada penguasaan yang bersifat intelektual dan budaya
sehingga terjadi konsensus antara yang menguasai dan dikuasai. Dalam hegemoni
yang dikuasai terkadang merasa nyaman dan menerima segala penguasaan itu secara
sadar, meskipun sesungguhnya penerimaan itu membuat ia berada dalam posisi yang
tidak menguntungkan bahkan sebenarnya dalam posisi tertindas.
Teori hegemoni inilah yang kemudian
digunakan sebagai filosofi dasar perubahan kolonialisme, dari kolonialisme
fisik dan wilayah kepada kolonialisme baru yaitu kolonialisme teori, ekonomi,
budaya, dan politik. Sejak berakhirnya perang dunia kedua penjajahan dalam
bentuk fisik dan penguasaan wilayah tidak bisa lagi bisa diterima seiring
dengan munculnya kesadaran tentang negara bangsa (nasionalisme) dan penghargaan
terhadap Hak Asasi Manusia universal. Seiring dengan itu negara-negara yang
selama ini dijajah diberikan atau berusaha merebut kemerdekaannya. Namun
ternyata negara-negara penjajah tidak dengan rela hati memberikan atau
melepaskan wilayah jajahannya untuk merdeka. Mereka para penjajah mengembangkan
kolonialisme baru dengan tidak lagi merebut dan menguasai wilayah tetapi dengan
penguasaan teori, ekonomi dan budaya.
Dus, kembali kepada ilustrasi di awal
tulisan ini, dalam budaya patriarkhi hegemoni laki-laki terhadap perempuan
dilakukan dengan cara “mengistimewakan” perempuan dalam wilayah domestik
(sumur,dapur, Kasur) sehingga banyak perempuan merasa nyaman dalam posisi ini
tanpa harus dipaksa tetapi malah menerima dengan sukacita. Sama halnya dengan
hegemoni barat terhadap negara-negara dunia ketiga (kebanyakan negara di Asia
dan Afrika ) baik dalam bidang ilmu pengetahuan, ekonomi, budaya dan politik, biasanya
diterima dengan tanpa sikap kritis. Malah kadang apapun yang berasal dari barat
semua dinilai baik dan diikuti begitu saja sebagai suatu kebenaran. Walaupun
sebenarnya tidak semuanya baik atau bermaksud baik. Demikianlah hegemoni
bekerja, orang dibuat menerima dan merasa nyaman, walaupun sesungguhnya ia
berada dalam posisi yang dirugikan atau tidak beruntung. Kalimat ekstrimnya : “orang
dibuat bahagia dalam ketertindasan”. Wallahu a’lam bishawab. (mh.29/11/21).
Online | : | 1 User |
Hits | : | 4067804 |
Hari Ini | : | 38 |
Bulan Ini | : | 1482 |
Tahun Ini | : | 5278 |
Total | : | 1861916 |
Halaman :